Perempuan dalam Bingkai Budaya

ARTIKEL

Mendengar kata perempuan, pasti yang terbersit dalam benak kita adalah sesosok makhluk lemah yang terpasung dalam balutan bingkai budaya. Betapa tidak, banyak hal yang dengan gamblang menjelaskan bahwa hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Dalam ranah ilmu pengetahuan misalnya, yang menempatkan kata “kodrat “ adalah suatu istilah yang digunakan untuk mengucilkan peran sosial dalam masyarakat.
 Kata “kodrat” ini juga sering digunakan untuk mempersentasikan peran perempuan menurut agama. Sehingga daya ikatnya cenderung semakin kuat. Hal ini pun menjelaskan sebuah fenomena yang secara konsisten memberikan kecenderungan terhadap perempuan, yaitu menganggap dirinya tidak sedeajat dengan laki-laki. Sedikit banyak maindstream itu muncul karena pengaruh dari pemahaman kodrat yang masih parsial.
 Lebih lanjut, istilah “kodrat” terus dipertahankan sampai saat ini. Hal itu dikarenakan banyak faktor, bukan hanya semata-mata dalam segi ilmu, tetapi lebih jauh pada persoalan asasi kemanusiaan. Adanya kesimpulan antara lelaki dan perempuan secara genetik berbeda, tanpa memberikan penjelasan secara tuntas, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi realitas sosial yang menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex).
 Pandangan “menganak-tirikan” perempuan sering sekali dihubungkan dengan norma agama. Dalam persoalan partisipasi dibidang sosisal kemasyarakatan dan politik, misalnya. Perempuan hanya diberikan partisipasi yang cukup kecil sehingga mereka menjadi kaum minoritas dalam institusi politik maupun kemsyarakatan. Sebagian dari mereka dibatasi pada ruang aktivitas yang hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinate
Hal ini pun ditegaskan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Universitas Al-Azhar, fatwa haram tersebut berdasar pada syari’at Islam bagi perempuan yaitu larangan untuk memangku jabatan-jabatan publik. (Al Wilayah al ‘Ammah Al Muzlimah). “Al syiyasah a’ala al mar’ah haram shiyasah li’al muftana’ al takhabbuth was li al muqalab” (http://islamlib.com/id/index.php?page=article). Maksud dari pernyatan ini yaitu politik bagi perempuan adalah haram guna melindungi masyarakat dari kekacauan.
secara garis besar alasan yang digunakan adalah bukan karena perempuan tidak memiliki kemampuan atau keahlian, melainkan karena kerugian-kerugian sosial yang lebih besar. Yaitu melanggar etika Islam dan meninggalkan kepentingan keluarga. Selain itu, alasan yang sering diakui adalah karena perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka ditempat umum dipandang sebagai fitnah dan menstimulasi konflik batin.
Padahal ada nilai khas yang dimiliki oleh wanita yang pada dewasa ini nyaris hampir tidak dimiliki oleh kebanyakan politisi yang mayoritas diduduku oleh kaum laki-laki. Nilai khas tersebut misalnya tidak menyukai cara-cara militeristik, lebih kepada upaya damai, bersedia bekerja secara kolektif yang mendorong adanya sebuah perubahan. 
Selain itu, jika dihubungkan dengan keterwakilan perempuan dalam dunia politik tentu akan memberikan banyak dampak positif. Hal itu akan tercapai jika saja adanya wacana yang jelas dan tidak parsial terhadap bias gender. Bahkan, ayat al Qur’an pun menjelaskan bahwa sejatinya kaum laki-laki tidak memiliki perbedaan.
“hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya allah maha mengetahui mengenal.”(Q.S. Al Hujarat, ayat 13)
Pernyataan diatas merupakan penghapusan dan penghilangan segala batasan-batasan dan perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam urusan dunia. Karena di mata Allah yang membedakan adalah tingkat ketakwaan dan keimanan. Dari segi kecerdasan manusia itu sama tergantung cara pengolahan dan seberapa jauh mereka berfikir. 
Perempuan dalam kancah politik Indonesia
 Apabila kita melihat secara jeli dalam negara kita, adanya sebuah trend dan reduksi besar-besaran dalam pemasungan hak partisipasi bagi perempuan baik dalam bidang sosial maupun bidang politik. Namun, bila di amati dengan seksama peran perempuan bagi bangsa sangatlah berpengaruh dalam masyarakat kita. Contonya mulai dari jasa-jasa pendahulu yakni Cut Nyak Dien, RA Kartini, hingga saat ini tercatat bahwa Megawati Soekarno Putri sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. Meskipun jumlah tokoh perempuan tidak sebanyak tokoh laki-laki dalam bidang politik, perempuan bukan di pilih karena faktor kasihan atau tidak memiliki kemampuan dan kontribusi yang besar bagi bangsa dan negara.
 Perempuan bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan penghargaan atau posisi sosial. Akan tetapi, untuk kebaikan dan kemajuan. Ironisnya justru kebaikan dan ketulusan perempuan ini kadang malah sering dimanfaatkan untuk kepentingan publik tertentu. Di lain sisi, kecemerlangan perempuan dalam bidang kemasyarakatan dan kepemimpinan akan tergerus apabila budaya dan tradisi yang tumbuh subur di negara kita ini tidak diluruskan. Banyak hambatan yang harus dihadapi bagi perempuan dalam mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *